Sejarah dan Prospek Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey: Dari Masa Lalu Hingga Peluang Reaktivasi

Selasa, 07 Januari 2025 | 13:55:37 WIB
Sejarah dan Prospek Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey: Dari Masa Lalu Hingga Peluang Reaktivasi

Bandung Selatan, dengan keindahan alamnya yang mempesona, telah lama menjadi tujuan favorit bagi banyak wisatawan. Destinasi seperti Perkebunan Teh Rancabali, Perkemahan Ranca Upas, dan Kawah Putih adalah beberapa daya tarik yang membuat Ciwidey terkenal. Namun, terbatasnya akses transportasi sering kali menyebabkan kemacetan parah, terutama saat musim liburan. Padahal, pada masa lalu, Ciwidey dapat diakses dengan lebih mudah melalui jalur kereta api yang menghubungkannya dengan Bandung.

Berawal pada akhir abad ke-19, komunitas pengusaha Eropa melihat potensi ekonomi wilayah Bandung Selatan yang kaya akan hasil bumi. Di tengah kompetisi ketat, banyak dari mereka berambisi membangun jalur kereta api yang menghubungkan Bandung dengan Ciwidey. Namun, medan geografis yang berbukit membuat biaya pembangunan menjadi sangat tinggi dan berujung pada kegagalan pengusaha-pengusaha tersebut memperoleh izin dan merealisasikan proyeknya.

Menghadapi situasi ini, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk turun tangan melalui perusahaan kereta api milik mereka, Staatsspoorwegen (SS). Pada tahun 1918, pemerintah mengambil alih rencana pembangunan jalur tersebut. Dimulai setahun kemudian, proyek ini awalnya merambah hingga Soreang pada tahun 1921. Setahun berselang, jalur diperpanjang hingga mencapai Ciwidey, dan resmi beroperasi pada Februari 1925. Jalur sepanjang 40 km ini melintasi sejumlah stasiun seperti Buahbatu, Bojongsoang, Dayeuhkolot, dan Banjaran, serta tiga jembatan besar, yakni Sadu, Rancagoong, dan Cikabuyutan.

Perjalanan pembangunan jalur kereta Bandung-Ciwidey tidak mulus. Pemogokan pekerja mewarnai jalannya proyek, yang dipicu oleh ketidakpuasan warga lokal mengenai pembebasan tanah. Selain itu, kecelakaan kerja tragis sempat terjadi di jembatan antara Soreang dan Ciwidey, yang menewaskan beberapa pekerja.

Setelah beroperasi beberapa dekade, jalur ini dinonaktifkan pada awal 1980-an. Alasan penutupan berkaitan dengan efisiensi pelayanan kereta api yang harus bersaing dengan moda transportasi darat yang lebih fleksibel dan ekonomis. Menurunnya permintaan pengiriman hasil perkebunan seiring perubahan kondisi ekonomi juga turut mempengaruhi keputusan penutupan jalur ini.

Namun, pada tahun 2014 muncul rencana ambisius untuk mereaktivasi jalur-jalur kereta api yang telah lama mati, termasuk jalur Bandung-Ciwidey. Walaupun menarik, upaya ini penuh tantangan. Dari segi biaya, reaktivasi jalur Garut-Cibatu yang hanya sepanjang 19 km menghabiskan biaya hingga 352 miliar rupiah, memberikan gambaran betapa mahalnya investasi ini. Selain itu, tantangan juga datang dari banyaknya hunian yang kini berdiri di sepanjang jalur ini, menuntut adanya relokasi warga bila proyek dilanjutkan.

"Pembangunan kembali jalur kereta api ini tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga menata kembali urbanisasi yang telah terjadi selama puluhan tahun," demikian penilaian dari salah seorang pengamat transportasi.

Meskipun tantangannya besar, menggeliatnya rencana reaktivasi membawa angin segar. Jalur ini berpotensi menjadi alternatif transportasi yang nyaman bagi wisatawan tujuan Ciwidey, sekaligus memecah kemacetan jalan raya yang sering terjadi. Jika rencana ini terwujud, tidak hanya membuka kembali konektivitas Bandung-Ciwidey, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan aksesibilitas daerah.

Sebagai masyarakat dan pembaca yang peduli akan transportasi berkelanjutan dan pelestarian sejarah, kita dapat berharap bahwa niatan mereaktivasi jalur kereta Bandung-Ciwidey dapat menjadi kenyataan. Ini bukan hanya tentang membangun infrastruktur, tetapi juga menjaga warisan perjalanan yang dahulu pernah ada, sekaligus beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang semakin dinamis. Jika upaya ini berhasil, kelak kita mungkin dapat menikmati kembali perjalanan kereta melalui panorama indah Bandung Selatan.

Terkini