PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), bagian dari Subholding Refining & Petrochemical PT Pertamina, mengumumkan inisiatif penting dalam rangka mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada energi dan pengurangan emisi karbon. Sejak 1 Januari 2025, Pertamina memulai penyaluran campuran bahan bakar minyak (BBM) yang baru, dikenal sebagai Biodiesel B40. Langkah ini dianggap sebagai terobosan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Apa Itu Biodiesel B40?
Biodiesel B40 merupakan campuran yang terdiri dari 40% Fatty Acid Methyl Esters (FAME) berbahan dasar minyak kelapa sawit, dan 60% minyak solar tradisional. Dengan formulasi ini, pemerintah berharap dapat menurunkan dampak emisi berbahaya yang dihasilkan dari penggunaan BBM fosil secara signifikan.
Pelaksanaan ini berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 341.K/EK.01/MEM.E/2024, yang mensyaratkan penggunaan bahan bakar nabati sebagai campuran diesel. Sebanyak 24 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) telah ditugaskan untuk menyuplai FAME. Selain itu, 28 Badan Usaha BBM, termasuk Pertamina Patra Niaga, telah diwajibkan untuk mengadopsi dan menjual produk dengan campuran B40.
"Hingga saat ini Pertamina Patra Niaga sudah menerima FAME dari BU BBN di 34 titik serah atau sekitar 80% dari target titik serah B40. FAME yang telah kami terima langsung diproses di Terminal BBM dan kami salurkan ke SPBU secara bertahap dan telah dimulai pada minggu pertama Januari 2025," ujar Heppy Wulansari, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, pada Jumat, 17 Januari 2025.
Produksi dan Distribusi B40
Saat ini, produksi B40 berlangsung di Kilang Plaju, Sumatra Selatan, dan Kilang Kasim, Papua Barat Daya. Kedua kilang ini diharapkan dapat menyuplai kebutuhan biodiesel nasional dengan kapasitas masing-masing mencapai 119.240 kiloliter dan 15.898 kiloliter per bulan. Pada pekan lalu, distribusi telah dimulai dengan penyaluran sebanyak 5.000 kiloliter dari Kilang Plaju dan 4.600 kiloliter dari Kilang Kasim.
Direktur Utama KPI Taufik Aditiyawarman menegaskan kesiapan KPI dalam mendukung mandatori pemerintah ini, sebagai bagian dari komitmen perusahaan dalam aspek keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.
"Produksi Biosolar B40 ini tentunya juga akan menjadi kontribusi KPI dalam pencapaian net zero emission di tahun 2060 atau lebih cepat, mendukung sustainable development goals dalam menjamin akses energi yang terjangkau serta pada penerapan ESG," kata Taufik di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2025.
Tantangan dan Peluang Ekonomi
Pemberlakuan kebijakan ini menaikkan kuota biodiesel menjadi 15,6 juta kiloliter tahun ini. Sebagian besar, yakni 7,55 juta kiloliter, dialokasikan untuk public service obligation (PSO), sementara sisanya untuk non-PSO.
"Nah dari sini kalau untuk yang non-PSO kan dibebankan kepada konsumen saat ini kalau yang non-PSO harganya itu sudah sekitar Rp 13 ribuan - Rp 13 ribuan nanti bertambah sekitar antara Rp 1.500-2.000," kata Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, saat diwawancarai oleh CNBC Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2025.
Pemerintah juga memastikan kebijakan ini tidak akan mempengaruhi inflasi. Kajian kelayakan sudah dilakukan untuk memastikan efek ekonomi minimal.
Langkah Strategis Menuju Net Zero Emission 2060
Inisiatif ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah menuju net zero emission pada tahun 2060. Menurut laporan dari European Commision tahun 2024, emisi gas rumah kaca Indonesia mengalami kenaikan sebesar 202,24% pada tahun 2023 dibandingkan 1990, menjadikannya salah satu kontributor terbesar emisi global.
Pentingnya beralih ke bahan bakar nabati semakin mendesak mengingat kontribusi sektor transportasi terhadap emisi gas rumah kaca yang meningkat lebih dari 300% dibandingkan tahun 1990. Sektor industri energi dan eksploitasi bahan bakar juga menunjukkan kenaikan signifikan lebih dari 200% dalam periode yang sama.
Dengan penyaluran Biodiesel B40 ini, langkah pemerintah diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta mempercepat transisi ke energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Menurut analisis CSIRO, 90% emisi karbon dunia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, termasuk pemakaian bahan bakar untuk transportasi. "Langkah pemerintah untuk menggunakan bahan bakar nabati diharapkan dapat membantu mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca secara keseluruhan," tutup Heppy.
Dengan upaya ini, Indonesia bertekad untuk memimpin dalam adopsi energi terbarukan, meningkatkan ketahanan energi nasional, dan memenuhi komitmen terhadap lingkungan guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.