BRICS: Peluang Pendanaan Transisi Energi Indonesia di Tengah Dinamika Global

Rabu, 22 Januari 2025 | 13:33:13 WIB
BRICS: Peluang Pendanaan Transisi Energi Indonesia di Tengah Dinamika Global

Indonesia menghadapi peluang signifikan dalam upaya transisi energinya di tengah perubahan dinamis kebijakan global. Dengan keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris, yang sebelumnya merupakan salah satu pemimpin inisiatif pendanaan energi bersih global, Indonesia kini mencari opsi alternatif untuk menutupi kesenjangan dana yang muncul. Salah satu blok ekonomi yang dianggap memiliki potensi untuk mendukung transisi energi Indonesia adalah BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menegaskan pentingnya Indonesia untuk aktif mengeksplorasi peluang di dalam BRICS sebagai sumber pendanaan baru. "BRICS barangkali bisa menjadi peluang untuk menutup gap (pendanaan) ini," ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu. Pernyataan ini muncul setelah dunia menyaksikan goyahnya program pendanaan transisi energi global, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), akibat dari keluarnya AS dari perjanjian tersebut.

JETP sebelumnya bergantung pada dukungan negara-negara maju, dimana Amerika Serikat dan Jepang berperan sebagai pemimpin. Konsekuensi dari penarikan AS ini bisa berarti penundaan bahkan pengurangan dana bagi inisiatif transisi energi global, termasuk Indonesia. Dalam situasi ini, keterlibatan BRICS, terutama China, menjadi semakin krusial.

China, sebagai bagian dari BRICS, memiliki potensi untuk tampil sebagai pemimpin dalam transisi energi hijau di Asia. Agung mencatat adanya peluang kepemimpinan China untuk menjadi "green leader" dalam mendukung transisi energi di Indonesia. "Misalnya, dulu ada wacana Green Belt and Road Initiative, mungkin itu bisa benar-benar diseriusi dan dieksekusi," tambahnya. Pernyataan ini mengindikasikan harapan terhadap komitmen China dalam memberikan dukungan konkret terhadap ekspansi energi terbarukan.

Indonesia telah mencanangkan target ambisius untuk membangun 75 gigawatt (GW) kapasitas energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan, sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto di forum G20. Namun, seperti yang diingatkan Agung, realisasi target tersebut sangat bergantung pada kemauan China dalam berkomitmen secara finansial dan teknologi. "Tentu, ini juga tergantung dari kemauan China sendiri," lanjutnya.

Kendati demikian, Agung juga menggarisbawahi tantangan yang dihadapi dengan mengandalkan dukungan dari China. Terdapat kecenderungan China yang masih secara agresif memanfaatkan sumber energi fosil. Di berbagai smelter nikel milik China, pembangunan captive power plant berbasis fosil masih berlangsung. "Mungkin, kalau diplomasi iklim Indonesia kuat dan minta dukungan pendanaan yang lebih konkret ke China, bakal ada peluang positif," jelas Agung.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah diplomasi iklim yang efektif. Dibutuhkan upaya diplomatik yang kuat untuk meyakinkan China mengenai pentingnya dukungan dalam bentuk pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan. Dalam konteks global saat ini, keterlibatan dan komitmen dari pemain utama seperti China bisa berarti perbedaan antara sukses dan kegagalan bagi upaya mitigasi perubahan iklim di kawasan ini.

Keputusan AS untuk meninggalkan Perjanjian Paris bukanlah langkah yang tanpa sebab. Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Donald Trump, mengklaim perjanjian ini tidak adil dan cenderung berat sebelah terhadap negara-negara tertentu. Perjanjian Paris sendiri, yang diadopsi pada 2015 oleh 195 negara anggota dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, memiliki tujuan membatasi kenaikan suhu rata-rata global jauh di bawah dua derajat Celcius di atas tingkat praindustri, dengan aspirasi mencapai batas 1,5 derajat Celcius.

Situasi ini membuka ruang bagi negara-negara lain, termasuk anggota BRICS, untuk mengambil peran lebih besar dalam diplomasi serta pendanaan iklim. Dalam persaingan geopolitik dan ekonomi saat ini, kemampuan untuk menjaga keberlanjutan dan mengimplementasikan proyek hijau menjadi alat negosiasi yang penting pada tingkat global.

Bagi Indonesia, fokus pada BRICS bukan sekadar mencari sumber pendanaan alternatif. Ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi dalam arena politik dan ekonomi dunia yang semakin dinamis. Dengan menavigasi aliansi internasional secara hati-hati, Indonesia tidak hanya dapat mengamankan sumber daya yang diperlukan untuk transisi energi, tetapi juga dapat memainkan peranan penting dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim.

Sebagai salah satu bangsa kepulauan dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk menjadi pelopor dalam transisi energi bersih di Asia. Melalui dukungan dari BRICS, harapan untuk mencapai ini semakin terbuka, namun tetap bergantung pada diplomasi cerdas dan strategi yang berfokus pada keberlanjutan jangka panjang.

Terkini