Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan untuk Pangan dan Energi: Ancaman Ekologis yang Mengkhawatirkan

Senin, 20 Januari 2025 | 08:40:25 WIB
Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan untuk Pangan dan Energi: Ancaman Ekologis yang Mengkhawatirkan

Rencana ambisius pemerintah untuk membuka 20 juta hektare hutan demi kepentingan pangan dan energi menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Di tengah gencarnya upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim serta meningkatkan rehabilitasi kerusakan hutan dan lahan, kebijakan ini justru dianggap bisa menjadi ancaman ekologis baru yang berbahaya bagi Indonesia.

Kekhawatiran dari Akademisi

Para akademisi dan pakar lingkungan dari Universitas Gajah Mada (UGM) menilai bahwa kebijakan pembukaan hutan ini tidak sejalan dengan urgensi saat ini. "Membuka 20 juta hektare hutan jelas bukan jalan keluar yang tepat untuk meningkatkan ketersediaan pangan," ungkap Prof. Dr. Bambang Setiawan, seorang pakar ekologi dari UGM. "Apa yang kita butuhkan adalah optimalisasi sistem pertanian yang sudah ada, bukan mengeksploitasi sumber daya alam yang justru bisa memperparah keadaan."

Menurut Prof. Dr. Bambang, daripada memfokuskan diri pada pembukaan lahan baru, pemerintah seharusnya memperbaiki sistem pertanian saat ini yang masih belum optimal. Ia juga menambahkan, "Tindakan seperti ini hanya akan membangkitkan masalah ekologis baru dan tidak menyelesaikan akar dari permasalahan ketahanan pangan."

Ironi dalam Konteks Global

Kebijakan pembukaan lahan hutan ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan menanggulangi perubahan iklim, yang juga merupakan bagian dari Kesepakatan Paris. Dunia saat ini sedang bergerak menuju arah restorasi lingkungan dan keberlanjutan, namun kebijakan ini justru terlihat seperti langkah mundur.

"Ini adalah sebuah ironi besar. Di satu sisi, kita berkomitmen untuk menurunkan emisi dan memperbaiki lingkungan, sementara di sisi lain kita malah akan membuka hutan dalam skala besar yang tentunya akan meningkatkan emisi," ungkap Dr. Siti Rahmawati, seorang peneliti perubahan iklim dari UGM. "Kita harus mempertimbangkan betul dampak jangka panjang dari kebijakan ini."

Dampak Ekologis yang Merugikan

Pembukaan hutan dalam skala besar ini berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap ekosistem. Selain hilangnya habitat satwa liar dan penurunan keanekaragaman hayati, pembukaan hutan juga bisa menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan menurunkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon.

"Penting untuk dipahami bahwa hutan merupakan salah satu penyangga kehidupan. Hilangnya hutan berarti hilangnya fungsi penyerap karbon yang berperan penting dalam mengatur iklim bumi," tambah Dr. Siti. "Hal ini akan mengakibatkan peningkatan suhu yang dapat memperparah fenomena perubahan iklim."

Alternatif Solusi

Pakar-pakar menyarankan pemerintah untuk mencari solusi lain selain pembukaan hutan, seperti optimalisasi lahan pertanian yang ada, peningkatan teknologi pertanian, dan investasi dalam pertanian berkelanjutan. Pemerintah juga didorong untuk fokus pada praktik-praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan dan mendukung ketahanan pangan jangka panjang tanpa harus merusak alam.

"Pemerintah harus mempertimbangkan investasi dalam teknologi pertanian modern yang dapat meningkatkan efisiensi produksi tanpa perlu membuka lahan baru," saran Prof. Dr. Bambang. “Kita harus memikirkan cara berkelanjutan yang dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam.”

Masyarakat dan pemerintah harus lebih bijak dalam mengambil kebijakan yang berdampak pada lingkungan. Kebijakan pembukaan lahan 20 juta hektare hutan ini harus ditinjau kembali untuk memastikan bahwa langkah yang diambil tidak akan merugikan lingkungan dan, pada akhirnya, masa depan generasi mendatang.

"Diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat, untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kita harus berkomitmen pada kebijakan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga melindungi kelestarian alam," tutup Prof. Dr. Bambang.

Dengan berbagai suara kritis ini, harapannya adalah pemerintah akan mempertimbangkan untuk meninjau ulang kebijakan ini agar selaras dengan komitmen global dalam menjaga lingkungan serta mendukung keberlanjutan hidup.

Terkini