JAKARTA – Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, menawarkan sebuah pandangan kritis terkait ambisi Indonesia untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Dalam sebuah kesempatan diskusi yang berlangsung di Menara Global pada Kamis (16/1/2025), Purnomo mengusulkan perlunya revisi terhadap target tersebut. Usulan ini dilatari oleh fakta bahwa capaian bauran EBT pada tahun 2024 baru mencapai angka 14%, sementara target tinggi masih membayangi tahun 2025.
"Sejak 2007 sampai sekarang belum pernah diubah. Jadi pesan saya jangan meninggalkan sejarah. Karena tantangan itu ada di zamannya, kalau menengok ke belakang 'kok begini?' Tantangannya berbeda. Jadi waktu kita desain EBT 23%, (capaian sekarang) 14%, mohon maaf tolong direvisi, jadi (Kementerian) ESDM harus direvisi," ujar Purnomo. Pernyataan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu menyoroti perbedaan situasi dan tantangan yang harus dihadapi di masa lalu dan sekarang.
Sejarah Kebijakan Energi dan Tantangan
Kembali ke tahun 2007, ketika Purnomo menjabat sebagai Menteri ESDM, Indonesia tengah mengalami krisis energi. Pemerintah ketika itu menerima protes keras akibat pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi diberikan hanya pada tiga dari tujuh produk, sementara empat lainnya disesuaikan dengan harga pasar global. Skema ini dirancang untuk mengalihkan dana subsidi menjadi bantuan tunai langsung kepada rakyat kurang mampu. "Maka katakan kalau orang kaya jangan dong pakai BBM disubsidi, kasihan. Uang yang kita dapat itu kita kembalikan ke rakyat miskin untuk BLT," jelas Purnomo, mengenai strategi pengalokasian subsidi saat itu.
Dalam konteks tersebut, pemerintahan saat itu mengkalkulasi target ambisius bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025, dengan optimisme bahwa perekonomian akan mendukung pencapaian tersebut.
Capaian dan Rencana Revisi
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, dalam diskusi yang sama, menyatakan keterkejutannya terhadap target ambisius 23% yang ditetapkan sebelumnya. "Ini memang masih jauh dari target tadi 23%. Terus kita balik tanya dulu menetapkan 23%, hitungan mana sih? Kita pun bertanya begitu. Upaya penetapan capaian EBT ini akhirnya kita RPP-kan," ujarnya.
Keterlambatan dalam pencapaian target menunjukkan perlunya tinjauan ulang kebijakan yang ada. Revisi ini sedang dipertimbangkan berdasarkan evaluasi terbaru yang dilakukan di tingkat presiden oleh Presiden Prabowo Subianto. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memahami kondisi faktual di lapangan serta proyeksi pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang relevan dengan energi terbarukan.
Langkah-Langkah Menuju Massa Depan Energi Terbarukan
Memang, untuk memenuhi ketertinggalan tersebut, Indonesia perlu melakukan langkah-langkah strategis. Peningkatan investasi dalam infrastruktur energi terbarukan, penguatan regulasi yang memfasilitasi peralihan ke energi bersih, serta partisipasi aktif dari sektor swasta dan masyarakat adalah beberapa komponen penting yang harus diprioritaskan demi mendukung pertumbuhan bauran energi terbarukan.
Pengembangan teknologi dan integrasi energi terbarukan dengan sistem energi konvensional juga memerlukan perhatian khusus. Dengan tren global yang bergeser menuju energi bersih, state of the art dalam inovasi teknologi dan kebijakan dapat menjadi pondasi kuat agar Indonesia dapat bersaing sekaligus memperbaharui komitmennya dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Mendukung Komitmen Global Terhadap Energi Ramah Lingkungan
Selain tekanan domestik, pencapaian target bauran energi tersebut juga berhubungan erat dengan komitmen Indonesia dalam forum internasional terkait perubahan iklim dan energi bersih. Indonesia telah menyatakan niatnya untuk turut serta dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan aksi adaptasi perubahan iklim.
Kenyataannya, pencapaian ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, industri, akademisi, serta masyarakat luas. Dengan lingkungan kebijakan yang ideal dan sinergi yang baik antar aktor, Indonesia diharapkan dapat mencapai target yang lebih realistis. Meskipun demikian, ketidakpastian ekonomi global dan dinamika geopolitik dapat menjadi faktor yang mempengaruhi arah kebijakan energi ke depan.
Usulan Purnomo dan kesadaran Eniya akan pentingnya revisi menunjukkan masih adanya ruang penyesuaian demi menyelaraskan antara cita-cita dengan kenyataan. Keberhasilan Indonesia mencapai target energi terbarukannya akan memiliki implikasi penting tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga dalam konteks global yang lebih luas.
Sebagai upaya untuk merealisasikan bauran energi yang optimal, semua pemangku kepentingan diharapkan dapat bekerja sama. Dengan perubahan signifikan yang diharapkan, Indonesia berpotensi untuk memperkuat komitmennya pada strategi energi berkelanjutan yang tidak hanya memajukan bangsa ini tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam menjaga keseimbangan bumi di tengah tantangan iklim yang terus berkembang.