PT Pertamina telah mengumumkan penyesuaian terbaru harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi yang efektif mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini berlaku untuk berbagai jenis BBM termasuk Pertamax (RON 92), Pertamax Turbo (RON 98), Pertamax Green (RON 95), Dexlite, hingga Pertamina Dex. Kebijakan ini dibuat dalam upaya mendukung implementasi Keputusan Menteri ESDM Nomor 245.K/MG.01/MEM.M/2022 yang merupakan perubahan atas Kepmen Nomor 62 K/12/MEM/2020.
Detil Kenaikan Harga BBM Non Subsidi
Kenaikan harga BBM non subsidi ini bervariasi di seluruh Indonesia. Di Aceh, Pertamax kini dijual dengan harga Rp 12.500 per liter, dan Pertamax Turbo di angka Rp 13.700. Sementara itu, di area Jawa seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur, harga Pertamax dan Pertamax Turbo masing-masing berada di kisaran Rp 12.500 dan Rp 13.700 per liter. Menariknya, harga Pertamax Green di wilayah tersebut dipatok pada Rp 13.400.
Di wilayah Papua, harga BBM juga mengalami peningkatan dengan Pertamax dijual seharga Rp 12.800 dan Pertamax Turbo mencapai Rp 14.000. Berbagai wilayah lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mengalami tren peningkatan yang serupa, dengan sedikit variasi tergantung lokasi. Meskipun begitu, menariknya BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar tetap dengan harga stabil pada posisi masing-masing Rp 10.000 dan Rp 6.800 per liter, memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat tetap terjangkau.
Dasar Kebijakan dan Reaksi Masyarakat
Menurut Fadjar Djoko Santoso, Vice President Corporate Communication Pertamina, penyesuaian harga BBM non subsidi dilakukan berdasarkan pemantauan harga pasar dan fluktuasi harga minyak mentah global. "Setiap bulan harga BBM akan di-update. Untuk penyesuaian harganya bisa dicek di laman resmi Pertamina," ujar Djoko Santoso yang dikutip dari Kompas.com. Penyesuaian ini, kata Djoko, adalah langkah penting dalam mengimbangi volatilitas harga energi global dan menjaga daya saing perusahaan sekaligus mengurangi risiko finansial.
Kenaikan harga BBM ini mendapatkan beragam reaksi dari masyarakat. Beberapa pihak menyadari pentingnya penyesuaian tersebut seiring dengan naiknya harga minyak dunia yang bertahan pada level tinggi. Namun, di sisi lain, masyarakat khawatir akan dampak dari kenaikan harga BBM, terutama terhadap biaya transportasi dan harga barang kebutuhan sehari-hari.
Dampak Sosial-Ekonomi
Peningkatan harga BBM non subsidi berpotensi memberikan dampak luas dalam berbagai sektor, terutama transportasi dan logistik. Para pelaku usaha di sektor pengiriman dan transportasi menyatakan kekhawatirannya terkait potensi kenaikan biaya operasional. Peningkatan ini, menurut sejumlah pengusaha, bisa berujung pada kenaikan harga barang-barang konsumsi, yang pada akhirnya akan berdampak pada daya beli masyarakat.
Namun, ada pula pandangan optimis yang meyakini bahwa penyesuaian harga ini akan mendorong inovasi dalam penggunaan energi lebih efisien. Penyedia layanan transportasi, umpamanya, bisa menggunakan teknologi digital untuk mengoptimalkan rute perjalanan agar konsumsi bahan bakar lebih hemat.
Langkah Antisipasi dan Adopsi Energi Alternatif
Untuk meredam dampak negatif kenaikan harga BBM, pemerintah dan PT Pertamina telah mengajak masyarakat untuk mulai bertransisi ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pertamina, misalnya, telah mempromosikan Pertamax Green yang dinilai lebih ramah lingkungan dengan harga yang lebih terjangkau di sejumlah wilayah.
Dorongan untuk beralih ke energi terbarukan, seperti tenaga surya dan listrik, juga semakin gencar dilakukan. Dalam jangka panjang, langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus mewujudkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.
Selain itu, pemerintah dan Pertamina juga mengambil langkah proaktif dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya efisiensi energi. Kampanye hemat energi sedang digalakkan di berbagai platform media, bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya penghematan energi sebagai bagian dari perubahan menuju lingkungan yang lebih bersih.
Penyesuaian harga BBM non subsidi oleh Pertamina mulai Januari 2025 merupakan langkah strategis yang tak hanya menyesuaikan harga jual dengan harga pasar dunia tetapi juga mendorong adopsi energi bersih. Meski berdampak pada beban keuangan masyarakat, penyesuaian ini dipandang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam ketidakpastian pasar energi global. Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk beralih pada penggunaan energi yang lebih efisien dan berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik.