Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini melaporkan bahwa capaian bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia hingga saat ini baru mencapai 14,1%. Angka ini masih jauh dari target ambisius 23% yang direncanakan untuk 2025. Hal ini menjadi perhatian mendalam di tengah meningkatnya tuntutan global akan transisi energi yang lebih ramah lingkungan.
Batasan-Batasan Capaian Energi Terbarukan
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa kapasitas terpasang EBT saat ini baru mencapai 14,1 gigawatt (GW). Ini hanya 0,38% dari total potensi EBT Indonesia yang mencapai 3.687 GW. Saat berbicara dalam acara "Semangat Awal Tahun 2025" di Menara Global, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025, Eniya menyoroti berbagai tantangan dalam merealisasikan target EBT ini.
"Challenge kita adalah merealisasikan apa yang kita planning. Kalau meninjau 10 tahun lalu, target EBT 23% di 2025 itu kayak angka keramat. Kenapa nggak pernah bisa tercapai? Itu yang menjadi acuan kita saat ini," kata Eniya.
Pengecekan Kembali Perhitungan Target
Adanya pengecekan ulang atas target ini menjadi penting, terutama setelah mendapati bahwa perhitungan awal didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 6,5%. Adanya revisi target menjadi 8% oleh Presiden Prabowo Subianto menjadikan perhitungan awal ini tidak relevan. Eniya menambahkan bahwa kebijakan energi nasional saat ini sedang dalam revisi.
"Terus kita balik tanya, dulu menetapkan 23% itu hitungan mana sih? Kita pun bertanya begitu. Upaya penetapan capaian EBT ini akhirnya kita RPP-kan," tutur Eniya.
Revisi yang sedang dikerjakan melibatkan penetapan kembali RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) dan RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) untuk memastikan kebijakan lebih tepat sasaran.
Potensi Besar yang Belum Dioptimalkan
Terlepas dari tantangan yang ada, Eniya masih optimis bahwa bauran EBT dapat terus meningkat di masa mendatang. Dengan berbagai proyek yang sedang dikembangkan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terbesar di Jatigede dan Asahan, serta proyek energi panas bumi yang masuk tahap Commercial Operation Date (COD), potensi peningkatan bauran ini sangat mungkin.
"Ini pak presiden sebentar lagi akan meresmikan PLTA bersama PLN, PLTA terbesar Jatigede sama Asahan dan dari situ baurannya nambah, lalu sebentar lagi juga COD panas bumi sudah masuk," ungkap Eniya.
Menyongsong Masa Depan Energi Terbarukan
Untuk meningkatkan porsi EBT sesuai target, Indonesia harus menghadapi berbagai hambatan, termasuk regulasi yang mendukung, dukungan investasi yang memadai, dan kerangka kebijakan yang jelas. Oleh karena itu, dukungan dari berbagai stakeholder serta kebijakan yang tepat guna menjadi kunci suksesnya pencapaian ini.
Ke depan, Indonesia harus melakukan pendekatan yang lebih holistik dalam menjaring potensi energi terbarukannya. Ini mencakup tidak hanya pengembangan proyek baru tetapi juga perbaikan sistem yang ada agar lebih efisien dan sustainable.
Tentang Relevansi Global
Dalam konteks global, peralihan ke energi baru terbarukan adalah bagian integral dari upaya mitigasi perubahan iklim. Dengan persetujuan Indonesia untuk menargetkan 23% dari baurannya datang dari EBT, langkah ini seharusnya sejalan dengan komitmen global menghadapi krisis iklim. Belajar dari pengalaman negara lain, regulasi yang kuat, insentif yang memadai, dan kerjasama internasional adalah peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mempercepat transisi ini.
Capaian energi baru terbarukan Indonesia yang saat ini baru 14,1% menjadi pengingat penting perlunya aksi yang lebih terkoordinasi dan cepat dalam meningkatkan kontribusi energi hijau. Dengan demikian, target 23% di tahun 2025 dapat diwujudkan dengan sinergi antara kebijakan pemerintah, inovasi teknologi, dan partisipasi aktif dari seluruh sektor industri serta masyarakat. Meski tantangan besar masih menghadang, potensi Indonesia dalam bidang ini tetap menjanjikan dan layak untuk terus diperjuangkan.