Perusahaan Tambang

Dugaan Korupsi Pertambangan di Kabupaten Kediri: PT EPAS Hanya Setor Pajak Rp 203 Juta dari Potensi Rp 3,7 Miliar

Dugaan Korupsi Pertambangan di Kabupaten Kediri: PT EPAS Hanya Setor Pajak Rp 203 Juta dari Potensi Rp 3,7 Miliar
Dugaan Korupsi Penambangan di Kabupaten Kediri: PT EPAS Hanya Setor Pajak Rp 203 Juta dari Potensi Rp 3,7 Miliar

KEDIRI - Dunia pertambangan di Indonesia kembali diguncang dugaan korupsi. Kali ini, PT Empat Pilar Anugerah Sejahtera (EPAS), sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Kediri, dituduh terlibat dalam manipulasi pajak yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 3,7 miliar. Penyidikan yang dipimpin oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kediri ini mengungkap bahwa selama tiga tahun terakhir, PT EPAS hanya membayar pajak minerba sebesar Rp 203,9 juta.

Kasus ini bermula ketika dugaan penambangan ilegal dan manipulasi pajak oleh PT EPAS mencuat ke permukaan setelah rapat yang melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait pada Oktober 2024. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Kediri, Eko Setiyono, mengaku kecolongan dengan aktivitas penambangan yang telah berlangsung sejak 2022.

“Kami baru mengetahui mereka (PT EPAS) beroperasi setelah kasus ini dibahas dalam rapat di pemkab. Bahkan, Organisasi Perangkat Daerah lain pun tidak mendapat informasi mengenai aktivitas ini,“ ujar Eko. Pertemuan tersebut juga menyingkap perselisihan antara PT EPAS dan Perkebunan Ngrangkah Pawon.

Meskipun akhirnya PT EPAS setuju untuk melakukan pembayaran pajak minerba sebesar Rp 203,9 juta setelah dua kali rapat, nilai tersebut jauh dari potensi kerugian negara yang dihitung oleh penyidik. “Selama ini, PT EPAS tidak pernah melapor kepada kami,” ungkap Eko, menyoroti metode self-assessment yang digunakan perusahaan dalam menghitung dan melaporkan pajak mereka.

Eko mengakui bahwa Bapenda kurang dalam melakukan pengawasan terhadap praktik penambangan oleh PT EPAS. Ia menegaskan seharusnya petugas ditugaskan untuk melakukan pengawasan jika operasi perusahaan diketahui lebih awal. Namun, tanpa adanya informasi dari pihak terkait, pengawasan tersebut tidak dapat dilakukan.

Sesuai dengan Peraturan Daerah No. 1/2011 dan No. 1/2024 mengenai pajak, PT EPAS diharuskan membayar pajak minerba sebesar 25 persen dari hasil tambang yang diekstraksi. Fakta bahwa perusahaan tidak melaporkan aktivitas mereka menunjukkan adanya kelalaian dan dugaan manipulasi atas kewajiban pajak tersebut. “Kami kecolongan. Lebih tepatnya, tertipu,” kata Eko setengah berkelakar namun pahit.

PT EPAS membayar pajak minerba tahun 2022-2023 sebesar Rp 60,19 juta pada November 2024. Di Desember 2024, mereka juga menyelesaikan pembayaran pajak tahun 2024 yang berjumlah Rp 143,8 juta. Tindakan ini terlambat diambil setelah kisruh dengan PTPN Ngrangkah Pawon mencuat dan permasalahan tersebut digelar dalam rapat resmi. “Itu (pajak 2024) PT EPAS sempat berkelit. Mereka berdalih dan saling melempar, tetapi akhirnya membayar,” jelas Eko menyoroti sikap tidak kooperatif pihak perusahaan.

Tidak hanya pembayaran pajak minerba tahun 2022-2024 yang baru dilakukan, PT EPAS juga sempat mencicil pembayaran pajak tahun 2021 dengan nilai lebih kecil, yakni Rp 26,6 juta. Hal ini semakin menguatkan dugaan manipulasi pajak yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

Penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi ini meningkat ke tahap penyidikan sejak Kamis, 2 Januari 2025, menurut Kejari Kabupaten Kediri. Penegasan bahwa PT EPAS melakukan praktik penambangan tanpa mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Dinas Ekonomi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur menunjukkan ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

“PT EPAS melakukan penambangan sejak 2020 hingga 2022 diduga dengan sengaja memanipulasi data hasil usaha pertambangan mereka. Sehingga, mereka tidak menyetorkan pajak pertambangan ke Pemkab Kediri sebagaimana diatur dalam perda," ungkap Kasi Pidana Khusus Kejari Kabupaten Kediri, Yuda Virdana Putra.

Yuda menegaskan bahwa manipulasi ini menyebabkan hilangnya potensi bagi hasil dari pajak minerba yang seharusnya masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). "Karena adanya manipulasi itu, jadinya mereka tidak membayarkan bagi hasil sebagaimana mestinya, sehingga muncul kerugian negara itu (Rp 3,7 miliar)," tandas Yuda.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan dan konsistensi pelaporan pajak. Pemerintah daerah dan pihak berwenang diharapkan dapat meningkatkan pengawasan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi yang berlaku serta melakukan tindakan tegas dalam kasus penyimpangan seperti yang terjadi pada PT EPAS. Penindakan terhadap perusahaan yang melanggar regulasi pajak diharapkan dapat menjadi langkah penting dalam menangani masalah korupsi di sektor pertambangan Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index