SUMEDANG — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah memberikan sinyal kuat mengenai kemungkinan penghentian ekspor gas sebagai langkah memenuhi kebutuhan domestik Indonesia. Pengumuman ini disampaikan langsung di hadapan Presiden Prabowo Subianto pada acara peresmian proyek strategis ketenagalistrikan di PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat.
Dalam pidatonya, Bahlil mengungkapkan bahwa pihaknya mendorong prioritas penggunaan gas bumi dari blok-blok yang digarap oleh kontraktor untuk sepenuhnya diserap dalam negeri. "Pak Presiden, agar kita tidak mengalami defisit, saya minta izin bahwa dalam perencanaan kami ke depan, seluruh konsesi gas yang ada di Indonesia akan kami prioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri," tegas Bahlil.
Prioritas untuk Kebutuhan Domestik
Langkah ini akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan berbagai sektor penting, termasuk pembangkit listrik dan program hilirisasi industri. Dengan meningkatnya kebutuhan gas yang signifikan selama periode 2025-2030, alokasi gas domestik diyakini akan memainkan peran krusial. Selama lima tahun ke depan, kebutuhan gas diproyeksikan mencapai 1.741 billion British thermal unit per day (BBtud) dan akan melonjak menjadi 2.695 BBtud pada 2034.
“Kami telah menyiapkan berbagai langkah agar gas bumi dapat memenuhi kebutuhan sektor energi di dalam negeri, dan tentu saja ini akan memperkuat ketahanan energi nasional kita,” ujar Bahlil. “Jika kebutuhan dalam negeri masih belum tercukupi, maka ekspor akan ditunda. Namun, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, kita siap untuk kembali melakukan ekspor.”
Sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional
Rencana penghentian ekspor gas ini bukanlah langkah serampangan. Ini sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tercantum bahwa kebutuhan energi nasional harus dipenuhi dengan mengurangi ekspor energi fosil secara bertahap, terutama gas dan batu bara, serta menetapkan batas waktu untuk mulai menghentikan ekspor.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pengurangan porsi ekspor gas bumi ditargetkan menjadi kurang dari 20% pada 2025, dan ekspor gas bumi dihentikan paling lambat 2036. Ketentuan ini menjamin penyerapan produksi gas dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir, transportasi, dan sektor lainnya.
Data Eksplorasi dan Produksi Gas
Menurut data terbaru dari Kementerian ESDM, penyaluran gas bumi sepanjang Januari hingga September 2024 telah mencapai 5.590,12 BBtud. Penyaluran tersebut diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Rincian distribusinya antara lain: industri pupuk mendapatkan alokasi 685,85 BBtud atau 12,27%, industri umumnya 26,28%, kelistrikan 12,69%, domestik LNG 11,75%, lifting minyak 3,69%, domestik LPG 1,4%, BBG 0,07%, city gas 0,29%, ekspor GP 7,71%, dan ekspor LNG sebesar 23,86%.
Tantangan dan Dilema
Langkah untuk menghentikan ekspor gas tentu disertai dengan berbagai tantangan, termasuk potensi negosiasi alot dengan negara pembeli. Sebelum ini, negosiasi ekspor gas ke Singapura sering mengalami kebuntuan, mendorong keputusan investasi untuk lapangan Mako mundur.
Namun, kebijakan ini dipandang sebagai solusi jangka panjang untuk menghindari defisit energi yang diproyeksikan terjadi pada tahun 2040. Dengan memusatkan produksi gas untuk kepentingan domestik, Indonesia diharapkan mampu membangun ketahanan energi yang lebih kuat dan menurunkan ketergantungan pada negara lain.
Bahlil menutup pidatonya dengan optimisme, “Dengan langkah ini, kita tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, tapi juga berkontribusi menjaga kestabilan dan kemandirian energi nasional.”
Dampak pada Ekonomi dan Industri
Penghentian ekspor gas diharapkan berdampak positif pada perekonomian dalam negeri dengan menurunkan biaya energi bagi masyarakat dan industri. Sektor industri dapat lebih kompetitif dengan ketersediaan gas yang melimpah dan harga yang lebih stabil.
Keputusan ini juga diharapkan dapat merangsang pertumbuhan investasi pada industri hilir yang berbasis gas, membuka lapangan pekerjaan baru, dan menambah nilai tambah produk industri dalam negeri.
Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya sekadar pergeseran fokus dari ekspor ke dalam negeri, tetapi juga representasi dari upaya untuk membangun perekonomian nasional yang lebih mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Kita akan terus memantau perkembangan ini dan bagaimana implementasinya di lapangan, mengingat pentingnya kebijakan ini bagi masa depan energi dan ekonomi Indonesia.