Indonesia, sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, berada di posisi ketujuh dalam kontribusi terhadap emisi global menurut Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR). Ketergantungan sektor energi terhadap bahan bakar fosil semakin mendesak Indonesia untuk memprioritaskan transisi energi berkelanjutan. Namun, tanpa kebijakan yang berkeadilan, segala upaya mungkin tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Menggali Makna 'Berkeadilan'
Berkeadilan dalam transisi energi tidak hanya menekankan pengurangan emisi rumah kaca. Konsep ini menuntut pelibatan masyarakat dalam setiap proses transisi menuju energi terbarukan. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), transisi energi berkeadilan adalah peralihan dari sistem sosial-ekonomi berbasis karbon menjadi rendah karbon, yang harus diimplementasikan secara berkelanjutan. "Keterlibatan masyarakat, terutama yang memahami pengetahuan lokal tentang sumber daya alam, sangat penting untuk memastikan transisi ini bijak dan inklusif," ujar perwakilan dari IESR.
Sehingga, partisipasi bermakna—atau meaningful participation—harus menjadi inti dari kebijakan tersebut, menghindari kekosongan partisipasi yang sering diabaikan. Pemerintah perlu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan kebijakan dan implementasi proyek energi terbarukan.
Membedah Kebijakan JETP
Salah satu kebijakan utama pemerintah Indonesia untuk merangsang transisi energi adalah Just Energy Transition Partnership (JETP), yang diluncurkan pada KTT G20 bulan November. JETP mengusung skema pendanaan melalui pinjaman dari negara-negara maju, dengan total mencapai US$20 miliar atau sekitar Rp 314 triliun.
Namun, dari sejak peluncurannya, JETP menuai berbagai kritik. Kekurangan transparansi dan minimnya partisipasi masyarakat menjadi sorotan utama. "Kami sering merasa informasi mengenai JETP sulit dijangkau, dan ini membuat kami khawatir tentang bagaimana pajak kami dihabiskan untuk utang-utang baru ini," ungkap seorang aktivis lingkungan yang tidak ingin disebutkan namanya. Skema pinjaman ini menuntut keterbukaan, mengingat konsekuensinya akan berdampak pada rakyat yang menanggung beban utang.
Mengupayakan Inklusivitas
Pemerintah dihimbau untuk tidak hanya berfokus pada proyek skala besar yang berpotensi membahayakan ekosistem dan mengabaikan partisipasi publik. Sebaliknya, mereka harus mendukung proyek-proyek energi terbarukan skala kecil dan komunitas yang lebih inklusif, khususnya bagi masyarakat yang belum mendapat akses listrik.
Sebagai negara demokratis, upaya ini harus selaras dengan esensi demokrasi yang menekankan peran serta rakyat dalam setiap kebijakannya. Menurut Sapto Hermawan dalam "Demokrasi Lingkungan Hidup: Konsep, Teori, dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia," ada tiga elemen penting dalam mewujudkan demokrasi lingkungan hidup: partisipasi masyarakat, akses informasi publik, dan keadilan.
Menjaga Demokrasi Lingkungan
Dalam kerangka demokrasi, transisi energi tidak hanya soal teknis pengurangan emisi, tetapi juga bagaimana masyarakat dapat terlibat aktif berdasarkan potensi lokal mereka. Keberhasilan ini bukan hanya bukti bahwa Indonesia sungguh-sungguh dalam komitmen internasional terkait perubahan iklim, tetapi juga pengakuan terhadap keunggulan demokrasi yang menjunjung tinggi peran rakyat.
"Penting untuk melihat transisi energi bukan hanya dari perspektif pengurangan gas rumah kaca saja. Perwujudan sejati terletak pada bagaimana masyarakat diberdayakan dan dilibatkan dalam transisi ini," jelas Sapto Hermawan.
Dengan segudang tantangan, berhasilnya transisi energi di Indonesia akan bergantung pada bagaimana pemerintah bisa menyeimbangkan antara ambisi global untuk mengurangi emisi dan kebutuhan lokal untuk menciptakan kebijakan yang adil bagi semua. Kebijakan transisi energi berkeadilan harus mendengarkan dan melibatkan suara-suara masyarakat, sehingga menjadi kenyataan dan bukan sekedar retorika.
Keberhasilan ini tidak hanya akan menempatkan Indonesia pada peta negara-negara yang berhasil dalam transisi energi, tetapi juga menjadikannya sebagai model bagi negara berkembang lainnya dalam membangun ekonomi hijau yang berkelanjutan dan berkeadilan.