JAKARTA - Di tengah meningkatnya alokasi dana pemerintah pusat untuk Transfer ke Daerah (TKD), justru realisasi belanja daerah menunjukkan perlambatan signifikan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas penyaluran anggaran serta kesiapan pemerintah daerah dalam memanfaatkan dana yang sudah ditransfer.
Hingga 31 Agustus 2025, realisasi TKD tercatat Rp571,5 triliun, atau sekitar 62,1% dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Capaian ini lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2024 lalu yang mencapai Rp562,1 triliun.
Namun ironisnya, meski transfer dana meningkat, belanja daerah justru terkontraksi 14,1% year on year (yoy). Artinya, aliran dana yang lebih besar dari pusat tidak serta merta diikuti dengan percepatan belanja di daerah.
Faktor Penyebab Perlambatan
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan setidaknya ada dua penyebab utama lambatnya serapan belanja daerah.
Pertama, banyak daerah mengalami pergantian kepemimpinan, mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur. Situasi transisi ini seringkali membuat proses perencanaan dan pengambilan keputusan anggaran berjalan lebih lambat.
Kedua, terdapat faktor kebijakan pencadangan pasca terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran TKD. Regulasi ini mendorong pemerintah daerah lebih berhati-hati dalam membelanjakan dana yang mereka terima.
"Transfernya tetap tinggi, belanjanya justru terjadi perlambatan. Meski belanja melambat, namun TKD-nya sesuai dengan syarat salur tetap lebih tinggi dibandingkan tahun lalu," ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (22/9).
Pentingnya Akselerasi Belanja
Meski belanja daerah masih tertekan, pemerintah pusat menekankan pentingnya akselerasi penggunaan anggaran. Menurut Suahasil, belanja yang cepat dan tepat akan memberikan stimulus signifikan bagi perekonomian daerah.
"Bersama-sama dengan APBN, ingin seluruh program pemerintah yang tadi kami sebutkan bisa dibelanjakan lebih cepat," tambahnya.
Artinya, bukan hanya soal besaran dana yang ditransfer, tetapi juga seberapa efektif dan cepat dana tersebut digunakan untuk program prioritas masyarakat.
Kontradiksi TKD dan Realisasi Belanja
Situasi ini memperlihatkan adanya kontradiksi fiskal: di satu sisi, pemerintah pusat telah meningkatkan penyaluran dana ke daerah. Namun di sisi lain, lambatnya belanja justru menahan dampak positif dari transfer tersebut.
Jika dana mengendap terlalu lama, multiplier effect yang diharapkan dari belanja pemerintah daerah tidak akan optimal. Padahal, TKD seharusnya menjadi salah satu instrumen penting untuk mempercepat pembangunan, memperkuat layanan publik, hingga menumbuhkan ekonomi lokal.
Dampak pada Perekonomian Daerah
Kontraksi belanja daerah sebesar 14,1% yoy tidak hanya berdampak pada serapan anggaran, tetapi juga pada laju pertumbuhan ekonomi di wilayah.
Keterlambatan realisasi belanja bisa menghambat program pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, serta peningkatan layanan dasar di daerah. Pada akhirnya, masyarakat yang seharusnya menerima manfaat lebih cepat dari anggaran tersebut justru harus menunggu lebih lama.
Tantangan Koordinasi Pusat dan Daerah
Kasus ini menegaskan bahwa koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan fiskal. Pusat bisa menyalurkan dana dalam jumlah besar, tetapi tanpa kesiapan dan eksekusi yang baik di daerah, manfaat anggaran tidak akan terasa maksimal.
Pergantian kepala daerah menjadi faktor yang tidak bisa dihindari, tetapi pemerintah daerah seharusnya memiliki mekanisme transisi yang lebih matang agar tidak mengganggu program pembangunan.
Selain itu, kebijakan pencadangan akibat Inpres 1/2025 memang bertujuan baik untuk efisiensi, namun implementasinya perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan keterlambatan berlebihan dalam realisasi anggaran.
Pelajaran dari Tahun Lalu
Jika dibandingkan dengan Agustus 2024, tren ini menunjukkan kontras. Tahun lalu, meski TKD lebih rendah, realisasi belanja daerah relatif lebih tinggi. Artinya, tahun 2025 menghadirkan tantangan baru terkait eksekusi anggaran di level daerah.
Fakta ini menjadi catatan penting bahwa peningkatan nominal transfer dari pusat tidak otomatis menjamin perbaikan serapan di daerah. Kapasitas kelembagaan dan manajemen fiskal daerah menjadi faktor kunci yang menentukan efektivitas dana tersebut.
Harapan Percepatan di Akhir Tahun
Dengan sisa waktu empat bulan hingga tutup tahun, pemerintah berharap ada percepatan signifikan dalam belanja daerah. Biasanya, realisasi anggaran meningkat pada kuartal terakhir seiring dorongan penyerapan akhir tahun.
Namun, agar belanja benar-benar memberi efek ke ekonomi lokal, percepatan tersebut harus diiringi dengan perencanaan yang matang, bukan sekadar mengejar target penyerapan. Jika tidak, kualitas belanja bisa terabaikan.
Kasus TKD 2025 memperlihatkan gambaran kompleks hubungan pusat dan daerah dalam pengelolaan anggaran. Transfer ke daerah sudah meningkat menjadi Rp571,5 triliun hingga Agustus, namun belanja daerah justru melemah 14,1% yoy.
Pemerintah pusat melalui Kemenkeu menegaskan perlunya akselerasi belanja agar perekonomian daerah mendapatkan stimulus nyata. Tantangan kepemimpinan daerah dan kebijakan pencadangan harus diatasi dengan koordinasi yang lebih solid.
Pada akhirnya, efektivitas TKD bukan hanya dilihat dari besarnya angka yang ditransfer, melainkan dari seberapa cepat dan tepat dana tersebut sampai pada program yang menyentuh masyarakat. Jika belanja daerah kembali tersendat, peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional bisa terlewatkan.