Rupiah

Rupiah Melemah Tajam, Rekor Terlemah Sejak Mei 2025

Rupiah Melemah Tajam, Rekor Terlemah Sejak Mei 2025
Rupiah Melemah Tajam, Rekor Terlemah Sejak Mei 2025

JAKARTA - Kinerja rupiah sepanjang pekan ketiga September 2025 kembali menjadi sorotan utama. Mata uang Garuda tertekan hingga menorehkan pelemahan terdalam dalam empat bulan terakhir. Mengacu pada data Bloomberg, rupiah pada Jumat (19 September ) ditutup di level Rp16.601 per dolar Amerika Serikat (AS). 

Posisi ini melemah 0,45 persen dibandingkan penutupan Kamis (18 September ) di Rp16.527, sekaligus menandai akumulasi koreksi 1,38 persen dalam sepekan.

Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR juga mencatat pelemahan serupa. Rupiah ditutup pada level Rp16.578 per dolar AS, turun 0,48 persen dibandingkan sehari sebelumnya. Dalam sepekan, koreksinya mencapai 1,14 persen. Tren penurunan ini membuat rupiah menyentuh titik terlemah sejak Mei 2025.

Pelemahan Sepekan, Pasar Makin Cemas

Berdasarkan data BI, rupiah mengawali perdagangan Jumat dengan dibuka pada Rp16.550 per dolar AS, lebih rendah dibanding penutupan Kamis yang berada di Rp16.500. Kondisi ini mencerminkan bahwa tekanan jual pada mata uang domestik masih cukup kuat, walaupun indeks dolar AS (DXY) justru melemah ke level 97,35.

Dengan demikian, pelemahan rupiah tidak hanya dipicu faktor eksternal, tetapi juga menunjukkan kerentanan domestik yang belum sepenuhnya teratasi. Kondisi ini menambah kecemasan pelaku pasar, terutama di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat.

Analisis Ibrahim Assuaibi: Sentimen Eksternal dan Domestik

Menurut Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar uang dan komoditas, tekanan pada rupiah disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan domestik. Dalam risetnya, ia menyebut pernyataan Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, menjadi salah satu pemicu.

"Powell juga menyatakan bahwa setiap keputusan The Fed akan bergantung pada data, bukan atas tekanan dari pihak lain," tulis Ibrahim.

Komentar Powell yang tidak mendukung pemangkasan suku bunga agresif sebesar 50 basis poin dinilai mempertegas sikap hati-hati bank sentral AS. Kebijakan yang tetap ketat dapat memperkuat dolar AS, sehingga memberi tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Selain itu, data ekonomi AS menunjukkan klaim pengangguran mingguan turun di bawah ekspektasi, menandakan pasar tenaga kerja masih tangguh. Sinyal ketahanan ekonomi AS ini memperkecil peluang pemangkasan suku bunga cepat, yang berarti dolar AS tetap punya daya tarik tinggi.

Faktor Domestik: Daya Beli Lemah dan Kredit Lesu

Dari dalam negeri, Ibrahim menyoroti perlambatan ekonomi akibat ketidakpastian global dan dampaknya pada permintaan domestik. Ia menilai daya beli masyarakat semakin tertekan, sementara tingkat pengangguran berpotensi meningkat.

Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya yang menyalurkan dana Rp200 triliun ke sektor perbankan, menurut Ibrahim, belum tentu efektif mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan sebesar itu, tidak bisa membantu,” ungkapnya.

Pasalnya, para pengusaha masih ragu mengambil pinjaman, sementara perbankan pun berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor riil. Hal ini menyebabkan penyaluran dana besar tidak otomatis mendorong aktivitas ekonomi.

Dampak pada Investor dan Dunia Usaha

Melemahnya rupiah jelas memberikan konsekuensi pada berbagai sektor. Bagi investor asing, depresiasi rupiah meningkatkan risiko konversi keuntungan. Sedangkan bagi dunia usaha, terutama yang bergantung pada bahan baku impor, biaya produksi berpotensi membengkak.

Situasi ini bisa memengaruhi harga barang konsumsi dalam negeri. Jika pelemahan berlanjut, tekanan inflasi bisa meningkat. Namun, bagi eksportir, kurs rupiah yang lebih lemah justru memberi keuntungan kompetitif karena harga produk Indonesia menjadi relatif lebih murah di pasar global.

Perkiraan Pergerakan Rupiah ke Depan

Ibrahim memperkirakan bahwa rupiah masih berpotensi fluktuatif dalam perdagangan pekan mendatang. Ia menyebut kisaran pergerakan mata uang akan berada pada level Rp16.600–Rp16.660 per dolar AS.

Menurutnya, sentimen pasar masih akan dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan The Fed, rilis data ekonomi AS, serta dinamika global termasuk perang tarif yang menekan aktivitas perdagangan dunia. Dari dalam negeri, kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi juga menjadi penentu.

Stabilitas Ekonomi Jadi Kunci

Melemahnya rupiah hingga menyentuh titik terendah sejak Mei 2025 memberi pesan bahwa stabilitas ekonomi tidak bisa hanya bergantung pada faktor eksternal. Penguatan fundamental domestik, peningkatan daya beli masyarakat, serta kepercayaan dunia usaha terhadap kebijakan pemerintah menjadi faktor penting untuk memperkuat rupiah.

Tanpa itu, kebijakan moneter dan intervensi pasar hanya akan memberi efek jangka pendek. Oleh karena itu, pelaku usaha dan investor disarankan tetap waspada menghadapi ketidakpastian, sembari memantau perkembangan global dan langkah-langkah pemerintah.

Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 1,38 persen dan ditutup di Rp16.601 per dolar AS, level terendah sejak Mei 2025. Data Bloomberg, kurs tengah BI (JISDOR), serta analisis pengamat mengonfirmasi bahwa kombinasi faktor eksternal dan domestik menjadi penyebab utamanya.

Kebijakan The Fed yang cenderung ketat, ketahanan ekonomi AS, serta lemahnya daya beli di dalam negeri menjadi tekanan ganda bagi rupiah. Prediksi ke depan menunjukkan rupiah masih akan bergerak fluktuatif di kisaran Rp16.600–Rp16.660 per dolar AS.

Dengan demikian, fokus pada pemulihan ekonomi domestik dan upaya menjaga kepercayaan pasar menjadi kunci agar rupiah tidak terus terpuruk di tengah ketidakpastian global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index